Sejarah

Sejarah singkat berdirinya Tera Indonesia Consulting (PT. Tera Binar Persada)

Nama Perusahaan

PT. Tera Binar Persada dengan branding Tera Indonesia Consulting. PT. Tera Binar Persada mendapatkan pengesahan berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0079158.AH.01.01.TAHUN 2022    

Insiator

Insiator pembentukan Tera Indonesia Consulting adalah Bpk. Ahmad Alamsyah Saragih, mantan Ketua Komisi Informasi pada periode 2009-2013 dan Anggota Ombudsman Republik Indonesia periode 2016 – 2021. Beliau menyampaikan gagasan awal ini kepada sejumlah pendiri lain yang kemudian direspon dengan positif dan ditindaklanjuti dengan pendirian perusahaan secara resmi sesuai peraturan perundang-undangan.  

Latar Belakang

Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), UU No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, dan UU No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi telah meletakkan pondasi bagi pelaksanaan tata kelola data, keterbukaan informasi publik, dan pelindungan data pribadi di Indonesia.

Selain itu, Pemerintah juga telah membangun lingkungan pendukung agar keterbukaan informasi semakin baik. Antara lain, program penguatan pelayanan publik -termasuk pelayanan informasi- berbasis teknologi informasi dan komunikasi[1], program transformasi digital dengan membentuk Peta Indonesia Digital 2021-2024 (Kementerian Kominfo), program Transformasi Digital (Kementerian PPN/Bappenas), dan lain-lain. Dalam RPJMN 2020-2024 juga dinyatakan pentingnya penguatan data dan informasi dalam pelaksanaan arah kebijakan dan strategi pembangunan.

Tata kelola data, keterbukaan informasi publik, dan pelindungan data pribadi memegang peranan penting bagi kualitas SDM sebuah bangsa. Dalam konsideran a UU KIP menyebutkan bahwa informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya serta merupakan bagian penting bagi ketahanan nasional. Keterbukaan informasi dalam konteks pengembangan SDM ini terkait dengan proses dan hasil kerja dari badan publik untuk diolah masyarakat, akademisi, kelompok kepentingan, dan lain-lain dalam rangka inovasi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi kehidupan.

Di sektor pendidikan, misalnya, dibutuhkan data dan informasi untuk kepentingan pengembangan bahan ajar yang relevan dengan kebutuhan dan menjawab tantangan global. Terhambatnya data dan informasi mempengaruhi kualitas pendidikan Indonesia.  Berdasarkan data yang dipublikasi oleh World Population Review, pada tahun 2021 lalu Indonesia masih berada di peringkat ke-54 dari total 78 negara yang masuk dalam pemeringkatan tingkat pendidikan dunia.[2]

Indonesia juga menduduki posisi ke-87 dari 132 negara pada Global Innovation Index atau Indeks Inovasi Global 2021. Peringkat ini mengalami penurunan dua tingkat dari tahun sebelumnya. Jika dilihat dari level pendapatan dimana Indonesia masuk dalam kelompok upper middle income, Indonesia berada pada posisi ke-27. Peringkat ini jauh di bawah China, Bulgaria, dan Malaysia yang masing-masing menduduki posisi pertama hingga ketiga. Sementara, bila dikelompokkan berdasarkan kawasan, Indonesia menempati posisi ke-14 di wilayah Asia Tenggara, Asia Timur dan Oceania. Negara jiran seperti Malaysia dan Singapura berada dalam posisi yang lebih baik.

Keterbukaan informasi juga diperlukan bagi kualitas partisipasi publik, sebagaimana disebutkan pada konsideran c UU KIP bahwa keterbukaan informasi publik merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik lainnya dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik. Artinya, jika informasi publik terhambat, maka pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara tidak dapat berjalan dengan baik. Dalam konteks legislasi, misalnya, upaya publik untuk melakukan pengawasan dapat berjalan dengan baik jika DPR mengumumkan informasi yang berkaitan dengan pembentukan UU secara serta-merta. Namun karena hal ini belum dilaksanakan DPR dengan baik, maka permintaan informasi terkait hal tersebut cukup besar. Risalah (2107: 1028 permintaan; 2018: 1140 permintaan; 2019: 1097 permintaan; 2020: 474 permintaan); Naskah akademik (2017: 609 permintaan; 2018: 673 permintaan; 2019: 666 permintaan; 2020: 386 permintaan); Laporan Singkat (2018: 151 permintaan; 2019: 97 permintaan; 2020: 34 permintaan); dan Lain-lain (2017: 202 permintaan; 2018: 239 permintaan; 2019: 344 permintaan; 2020: 158 permintaan). 

Banyaknya permintaan informasi legislasi dalam beberapa tahun terakhir, sejalan dengan hasil survei yang dilakukan Sekretariat OPI DPR RI pada Juli-Agustus 2020. Mayoritas responden menyatakan bahwa informasi yang paling penting untuk dibuka DPR adalah informasi terkait program legislasi (27,49%), kemudian informasi anggaran (23,95%), dan rencana kerja (18,08%). Sementara itu sebanyak 12,95% menginginkan laporan kerja berkala, 8,39% menginginkan informasi sarana dan partisipasi publik, 6,8% menginginkan informasi anggota dan 51,96% informasi mengenai fraksi. Minimnya keterbukaan DPR dalam legislasi ini berdampak pada kuantitas dan kualitas partisipasi dan pengawasan publik. Hal ini terlihat dalam pembentukan UU Cipta Kerja, UU Mineral dan Batubara, UU Ibukota Negara, dan lain-lain.

Pengelolaan informasi yang tidak tepat juga berdampak pada terhambatnya pencapaian tujuan dari kebijakan pemerintah. Sebagai contoh:

  • Sekitar 300 sertifikat redistribusi tanah yang telah diterima masyarakat sekitar Jasinga dan Pamijahan, Bogor, disita Satgas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI. Lahan tersebut merupakan bagian dari 500 bidang sertifikat redistribusi seluas 42,72 hektar yang dibagikan Presiden Joko Widodo pada September tahun lalu.[3]
  • Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap bahwa tiga jenis bantuan sosial (bansos) yang ditetapkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak tepat sasaran dalam penyalurannya. Hal itu tertuang dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2021.Berdasarkan buku IHPS II Tahun 2021, Selasa (24/5/2022), disebutkan bahwa penetapan dan penyaluran bansos Program Keluarga Harapan (PKH), Sembako/Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), serta Bantuan Sosial Tunai (BST) tidak sesuai ketentuan. Hal itu membuat kerugian negara hingga Rp 6,93 triliun.[4]

Pada sektor pemilu dan pilkada, pengelolaan data dan informasi yang bermasalah juga berpotensi menyebabkan hilangnya hak publik. Beberapa contohnya, antara lain: Badan Pengawas Pemilu menerima laporan dari Partai Gerindra yang menemukan sekitar 3,7 juta data pemilih yang diduga bermasalah dalam DPT di Jawa Tengah. Temuan ini merata di di Kabupaten/Kota di Jawan Tengah[5]; Badan Pengawas Pemilu Provinsi Riau menemukan dugaan kegandaan daftar pemilih pada Pilgub 2018 sebanyak 58.922.[6]; dan banyak kasus-kasus serupa lainnya.

Dampak dari tata kelola data yang belum dilaksanakan secara profesional juga menyebabkan masifnya kebocoran data pribadi di badan publik pemerintah. Tentu, ada sejumlah faktor lain yang memicu persoalan ini, antara lain: Pertama, perlindungan hukum yang lemah, karena kita belum memiliki undang-undang khusus mengenai perlindungan data pribadi. Regulasi mengenai hal ini tersebar secara sektoral di beberapa UU, antara lain: UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Kedua, pengelola data pribadi atau pengendali data pribadi (Badan Publik dan korporasi swasta) yang tidak memberikan perlindungan secara memadai. Ketiga, perilaku warga yang begitu mudah mengumbar dan memberikan data pribadi kepada pihak lain. Keempat, berkeliarannya para sindikat pembobol data pribadi untuk tujuan bisnis, persaingan usaha, atau kejahatan.

Beberapa contoh kebocoran data pribadi di Badan Publik, antara lain:

  • Bocornya data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang terungkap pada akhir Mei 2021. Data berupa Nomor Induk Kependudukan (NIK), nama, alamat, nomor telepon, e-mail dijual di dark web. Sebanyak 20 juta data dilengkapi foto.  Laporan Indonesia Cyber Security Independent Resilience Team (CISRT) menyebutkan, kerugian materil dari kebocoran 279 juta data peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan mencapai Rp 600 triliun. Ahli informasi dan teknologi menilai, ini karena data kependudukan dieksploitasi. Perhitungan itu berdasarkan dampak peretasan nomor kontak pribadi dan akun media sosial secara masif. Data-data ini bisa dimanfaatkan untuk kejahatan siber seperti penggunaan pinjaman online yang tidak bertanggung jawab.[7]
  • Bocornya 2,3 Juta data Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Komisi Pemilihan Umum (KPU) tahun 2014. Informasi perihal kebocoran data DPT KPU ini diungkap pertama kali oleh akun Twitter @underthebreach, Kamis (21/5/2020), yang akhirnya diakui oleh KPU RI. Data tersebut berisi sejumlah informasi sensitif: Nama lengkap, nomor kartu keluarga, Nomor Induk Kependudukan (NIK), tempat dan tanggal lahir, alamat rumah, serta beberapa data pribadi lainnya.[8]
  • Bocornya data dari aplikasi Indonesia Health Alert Card atau eHAC yang digagas kemenkes pertama kali diungkapkan oleh tim peneliti dari vpnMentor, sejak 15 Juli lalu 2021. Saat itu, vpnMentor telah berusaha menghubungi Kemenkes terkait kebocoran data tersebut namun tidak mendapat tanggapan. Baru pada 22 Agustus 2021 laporan vpnMentor mendapat tanggapan dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Alhasil pada 24 Agustus, BSSN memutuskan mengambil tindakan dengan menonaktifkan peladen eHAC versi lama.[9]

Selama 12 (dua belas) tahun implementasi UU KIP, fenomena yang mengemuka, antara lain:

  • Informasi Publik yang disengketakan sebenarnya sudah diketahui secara jelas sebagai informasi publik yang bersifat terbuka. Penelitian Indonesian Parliamentary Center dengan mengumpulkan 2.380 putusan Komisi Informasi Pusat dan Komisi Informasi Provinsi (2010-2016), menemukan materi yang disengketakan khusus untuk isu lingkungan yaitu AMDAL, UKL/UPL, HGU, Izin Lokasi, IUP Perkebunan, Rencana Kerja Tahunan Perusahaan, Kontrak, IUP Pertambangan, Laporan Pemantauan Ketaatan Internal Perusahaan, dan Izin Lingkungan.
  • Mayoritas sengketa informasi disebabkan karena Badan Publik tidak menanggapi permohonan informasi.[10] Kondisi pelayanan seperti di atas, masih sering ditemui hingga saat ini.
  • Ketaatan Badan Publik terhadap UU KIP masih rendah. Hasil Monitoring dan Evaluasi dari Komisi Informasi Pusat RI, memperlihatkan bahwa jumlah Badan Publik yang informatif masih sangat sedikit. Monev ini dilakukan dengan metode SAQ (Self Assessment Questionnaire), pemantauan situs web, dan presentasi ini. Pada tahun 2021, hanya 24,63% Badan Publik yang informatif.
Tahun Informatif Menuju Informatif Cukup Informatif Kurang Informatif Tidak Informatif
2018 3,26% 7,83% 11,52% 11,52% 65,87%
2019 9,58% 10,70% 14,93% 11,55% 53,24%
2020 17,24% 9,77% 17,53% 13,51% 41,95%
2021 24,63% 18,69% 16,02% 10,98% 29,67%

Khusus tahun 2021, hasil monev selengkapnya tertera pada tabel di bawah ini.

No Kualifikasi Badan Publik Informatif Menuju Informatif Cukup Informatif Kurang Informatif Tidak Informatif
1 PerguruanTinggi Negeri 21 BP 15 BP 13 BP 12 BP 24 BP
24,71% 17,65% 15,29% 14,12% 28,24%
2 Badan Usaha Milik Negara 6 BP 15 BP 17 BP 16 BP 47 BP
5,94% 14,85% 16,83% 15,84% 46,53%
3 Lembaga Non Struktural 2 BP 7 BP 5 BP 3 BP 16 BP
6,06% 21,21% 15,15% (9.09%) 48,48%
4 Lembaga Negara dan Lembaga Pemerintan Non Kementerian 16 BP 6 BP 4 BP 6 BP 9 BP
39,02% 14,63% 9,76% 14,63% 21,95%
5 Pemerintah Provinsi 10 BP 11 BP 10 BP 0 BP 3 BP
29,41% 32,35% 29,41% 0% 8,82%
6 Kementerian 24 BP 7 BP 2 BP 0 BP 1 BP
70,59% 20,59% 5,88% 0% 2,94%
7 Partai Politik 4 BP 2 BP 3 BP 0 BP 0 BP
44,44% 22,22% 33,33% 0% 0%
TOTAL 337 BP 83 BP 63 BP 54 BP 37 BP 100 BP
PERSENTASE 24,63% 18,69% 16,02% 10,98% 29,67%

Persentase Badan Publik yang informatif ini berpotensi berkurang, jika Komisi Informasi menggunakan tools yang biasa digunakan oleh organisasi masyarakat sipil, yaitu uji akses. Kondisi tersebut menunjukkan perlunya sebuah terobosan untuk memperbaiki kualitas keterbukaan informasi di Badan Publik.

Jumlah Badan Publik yang dimonev oleh Komisi Informasi di atas, masih sedikit jika dibandingkan jumlah sesungguhnya. Sejauh ini, jumlah Badan Publik yang dimonv oleh Komisi Informasi sebanyak 355 badan publik, pada  2019, 348 badan publik pada 2020, dan 357 badan publik pada 2021. Berikut ini, gambaran umum jumlah Badan Publik di Indonesia. Angka ini belum termasuk badan publik yang masuk dalam ranah yudikatif (lembaga peradilan).

No Badan Publik Jumlah
1 PerguruanTinggi Negeri 3.115
2 Badan Usaha Milik Negara 107
3 Badan Usaha Milik Daerah 848
4 Lembaga Non Struktural (LNS) 33
5 LNS yang memiliki struktur vertikal di daerah. Misalnya KPU dan Bawaslu 1.096
6 Lembaga Negara dan Lembaga Pemerintan Non Kementerian 41
7 Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kab/Kota 548
8 DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota 548
9 Kementerian 34
10 DPP Partai Politik 9
11 DPW Partai Politik (Provinsi) 9 x 34 306
12 DPD Partai Politik (Kab/Kota) 9 x 514 4.626
13 Ormas 512.997
14 dll
Total 524.308

Komisi Informasi Pusat juga mengembangkan Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP) untuk mendapatkan gambaran IKIP tingkat provinsi dan Nasional, di Indonesia. Hasil analisis data IKIP penetapan nilai IKIP secara Nasional Tahun 2021 sebesar 71,37. Nilai IKIP Nasional 2021 sebesar 71,37 menunjukkan hasil pelaksanaan keterbukaan Informasi Publik di tanah air berada pada kondisi sedang. Adapun 3 daerah dengan nilai tertinggi adalah Bali dengan skor 83.15, Kalimantan Barat dengan skor 80.38, dan Aceh dengan skor 79.51. Sedangkan 3 daerah dengan nilai terendah adalah Maluku Utara dengan skor 63.19, Sulawesi Tengah dengan skor 55.72, dan Papua Barat dengan skor 47.48.[11] Angka ini bisa jadi sebuah fenomena gunung es, apabila informan dalam IKIP ini diturunkan pada warga masyarakat yang langsung berhubungan dengan Badan Publik.

Salah satu pemicu rendahnya kualitas keterbukaan di Badan Publik adalah kondisi PPID yang tidak memiliki standar kompetensi khusus. Padahal, tugas dan fungsi PPID tidak kalah spesifik, berat, dan penting dari profesi lain seperti pranata kehumasan yang telah memiliki standarisasi dan sertifikasi. Beberapa tugas PPID, antara lain: melakukan klasifikasi dan pengecualian informasi, melakukan pelayanan informasi dan pelayanan atas keberatan pemohon informasi, menyusun daftar informasi publik, dan menghadapi penyelesaian sengketa informasi di Komisi Informasi. Semua ini membutuhkan pengetahuan dan keterampilan secara khusus. Kondisi serupa juga ada potensial terjadi pada Data Protection Officer.

Karena itu, agar keterbukaan informasi dan pelindungan data pribadi semakin kuat, SDM dan struktur yang mengelola informasi (PPID, Arsiparis, Walidata, dan Data Protection Officer) ditempatkan sebagai profesi yang mendapatkan pengakuan dan penghormatan secara baik dengan cara memberikan standar kompetensi khusus. Dengan adanya standar kompetensi untuk fungsi tersebut, maka diharapkan keterbukaan informasi publik dan pelindungan data pribadi dapat terkelola dengan baik.

[1] Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE)

[2] Siti Nur Arifa, Hari Pendidikan Internasional, Bagaimana Tingkat Pendidikan di Indonesia Saat ini? goodnewsfromindonesia.id, diakses pada 14 Juli 2022, https://www.goodnewsfromindonesia.id/2022/01/24/hari-pendidikan-internasional-bagaimana-tingkat-pendidikan-di-indonesia-saat-ini

[3] Yuliawati, Tumpah Tindih Aset BLBI dan Sertifikat dari Jokowi, Ini Respons BPN, katadata.id, diakses pada 12 Juli 2022,
https://katadata.co.id/yuliawati/berita/62b9881ebbfa4/tumpah-tindih-aset-blbi-dan-sertifikat-dari-jokowi-ini-respons-bpn

[4] Anisa Indraini, BPK Temukan Bansos Rp 69 T Salah Sasaran Orang Meninggal Masih Dapat, detik.com, diakses pada 11 Juli 2022,

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6093106/bpk-temukan-bansos-rp-69-t-salah-sasaran-orang-meninggal-masih-dapat.

[5] Koran Tempo, 12 Juni 2018, hal 10

[6] Abdullah Sani, Bawaslu temukan 58.922 DPT ganda Pilgub Riau, merdeka.com, diakses 6 Juni 2018, https://www.merdeka.com/politik/bawaslu-temukan-58922-dpt-ganda-pilgub-riau.html

[7] Fahmi Ahmad Burhan, Kebocoran Data BPJS Kesehatan Disebut Bikin Rugi Negara Rp600 Triliun,katadata.id, diakses pada 10 Juli 2022.  https://katadata.co.id/desysetyowati/digital/60d58c9c4538a/kebocoran-data-bpjs-kesehatan-disebut-bikin-rugi-negara-rp-600-triliun

[8] KPU Membenarkan 2,3 Juta Data yang Bocor Merupakan DPT Tahun 2014 (tirto.id)

[9] mrh/eks, Deretan Kasus Bocor Data Penduduk RI dari Server Pemerintah, cnnindonesia.com, diakses pada 10 Juli 2022, https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20210901150749-185-688400/deretan-kasus-bocor-data-penduduk-ri-dari-server-pemerintah.

[10] Dalam persidangan, alasan terjadinya sengketa menjadi meluas, yaitu: badan Publik tidak menguasai informasi yang diminta; informasi yang diminta termasuk sebagai informasi yang dikecualikan; Badan Publik melakukan pengecualian informasi tanpa melalui uji konsekuensi; pengecualian berdasarkan subjektivitas Badan Publik; pengecualian dengan dasar hukum berupa peraturan di bawah undang-undang.

[11] Nilai IKIP Nasional merupakan hasil analisis dari penilaian 312 Informan Ahli (IA) 34 Provinsi yang memberikan indeks 72,60 dan hasil penilaian 17 IA Nasional yang memberikan indeks 68,54, penilaian IKIP Nasional 2021 merupakan gambaran pelaksanaan keterbukaan Informasi Publik selama tahun 2020 dari bulan Januari hingga Desember.

Tujuan Pendirian

Dengan sejumlah latar belakang yang disampaikan sebelumnya, maka para pendiri berpendapat perlunya dibentuk sebuah lembaga yang bertujuan membangun keterbukaan informasi dan penguatan pelindungan data pribadi. Dalam gagasan yang berkembang, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan, antara lain dengan mendorong adanya standar kompetensi para penjabat yang mengelola informasi (PPID, Walidata, Personal Data Protection Officer) berdasarkan sebuah SKKNI, sebagaimana sertifikasi pada profesi lainnya seperti humas.

Untuk menuju ke sana, ada berbagai proses dan tahapan yang harus ditempuh, antara lain melakukan assessment terhadap kondisi tata kelola data, keterbukaan informasi, dan pelindungan data pribadi, membangun komunikasi dengan asosiasi, lembaga negara yang memiliki otoritas (baik terkait ketenagakerjaan maupun sertifikasi profesi), dan berbagai stakeholder lainnya. Tera Indonesia Consulting dan mungkin juga ada pihak-pihak lainnya, mencoba menuju ke sana. Karena itu, kami sangat senang dan terbuka untuk membangun komunikasi dengan berbagai pihak untuk mewujudkan hadirnya sertifikasi pejabat pengelola data dan informasi di Indonesia. 

Profil

Hallo Anda butuh bantuan? 

04:26