Penulis: Ahmad Alamsyah Saragih
Kewajiban melakukan pengujian atas konsekuensi dalam UU KIP dibebankan kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Hal ini diatur pada Pasal 19 UU KIP:
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di setiap Badan Publik wajib melakukan pengujian tentang konsekuensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dengan saksama dan penuh ketelitian sebelum menyatakan Informasi Publik tertentu dikecualikan untuk diakses oleh setiap orang.
Ketentuan tersebut mengatur bahwa: (i) konsekuensi yang diuji adalah konsekuensi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 UU KIP; (ii) pengujian konsekuensi harus dilakukan dengan saksama; (iii) pengujian konsekuensi harus dilakukan dengan penuh ketelitian. Dari ketentuan ini PPID di Badan Publik memang tidak dikenakan kewajiban melakukan pengujian atas kepentingan publik.
Kata saksama dan teliti memiliki makna yang sama dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Keduanya mengandung makna dengan cermat. Khusus untuk teliti, jika dilihat dari kata kerja ‘meneliti’ maka KBBI menjelaskan sebagai berikut: memeriksa (menyelidiki dsb) dengan cermat. Suatu penelitian dimaknai sebagai berikut: kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data yg dilakukan secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum; Kata sistematis dimaknai sebagai: teratur menurut sistem; memakai sistem; dengan cara yg diatur baik-baik. Sedangkan objektif dimaknai: mengenai keadaan yang sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi. [1]
Dengan demikian maka pengujian atas konsekuensi harus dilakukan dengan penuh kecermatan. Adapun untuk menentukan apakah seorang PPID telah melakukan dengan penuh kecermatan maka pengujian atas konsekuensi harus dilakukan secara sistematis dan objektif. Kata sistematis mensyaratkan adanya kerangka logis tertentu yang mendasari suatu tahapan. Kata objektif mensyaratkan suatu fakta sebagai dasar argumen. Pertanyaannya kemudian adalah fakta apa yang perlu digali secara cermat dalam pengujian ini? Mengingat konsekuensi yang diuji dalam pengecualian informasi menyangkut suatu konsekuensi yuridis, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian lain pada buku ini, maka fakta yang digali dalam pengujian ini adalah fakta yuridis. Pengujian atas konsekuensi yang dimaksud di sini tidak menggunakan fakta empirik sebagaimana riset uji coba atau eksperimental.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, penulis akan menguraikan tahapan konsekuensi yang mencakup paling tidak lima tahapan: (i) tahap klarifikasi informasi; (ii) tahap identifikasi fakta yuridis; (iii) tahap identifikasi kepentingan yang akan dilindungi; (iv) tahap pemeriksaan relevansi; dan (v) tahap penetapan.
Tahap-1: Melakukan Klarifikasi Informasi
Pada tahap ini PPID (dapat melalui petugas informasi) melakukan penajaman atas informasi yang diminta oleh pemohon informasi. Alasan permohonan atau tujuan permohonan menjadi penting, meskipun bukan berarti alasan permohonan dapat dijadikan dasar untuk menolak memberikan informasi. Seringkali informasi yang dminta tidak cukup jelas (terutama jika disampaikan melalui surat) karena bisa mencakup volume yang begitu besar sehingga perlu dipertajam yang relevan dengan tujuan permohonan.
Sebagai contoh, seorang guru meminta informasi sebagai berikut: ‘data anggaran Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep’. Setelah diklarifikasi tujuan permohonan adalah untuk mengetahui berapa insentif yang disediakan oleh Pemerintah Daerah secara resmi. Tentunya petugas Informasi dapat mengidentifikasi bagian atau lembar mana dalam dokumen anggaran pendidikan yang memuat informasi tersebut. Klarifikasi akan mempermudah petugas informasi mengidentifikasi dokumen sumber informasi.
Contoh lain, seorang pemohon informasi mengajukan permintaan informasi secara tertulis: ‘salinan dokumen hasil audit BPKP sebagaimana yang diberitakan oleh harian Media Indonesia berikut semua dokumen pendukung termasuk hasil konsultasi’. Dalam tahap klarifikasi informasi ternyata yang dimaksud pemohon adalah ingin mengetahui informasi terkait berita tentang adanya penyimpangan berdasarkan hasil audit BPKP. Informasi yang tersedia adalah dokumen surat hasil review terhadap kelengkapan laporan keuangan oleh BPKP, yang merupakan pembinaan bukan audit. Maka PPID menjelaskan hal tersebut dalam surat bahwa berita penyimpangan salah dan Media telah menyatakan permohonan maaf. Dalam merespon PPID juga menyampaikan hasil pengujian atas konsekuensi terhadap surat BPKP tersebut yang merupakan surat antar Badan Publik.[2]
Tahap-2: Mengidentifikasi Fakta Yuridis
Pada tahap ini jika teridentifikasi bahwa informasi dikecualikan secara prosedural, maka disusun pemberitahuan tertulis bahwa informasi tersebut sebetulnya terbuka akan tetapi harus disampaikan sesuai dengan prosedur tertentu. Jika informasi dikecualikan secara substansial, namun masuk dalam kategori pengecualian absolut maka tahap pengujian langsung masuk pada pemeriksaan relevansi (tahap-4). Jika relevan, PPID menyusun penetapan dan menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada pemohon bahwa permohonan ditolak berdasarkan ketentuan yang mendasari pengecualian tersebut.
Pengujian konsekuensi tidak perlu dilanjutkan karena secara absolut informasi dikecualikan. Dalam UU KIP kemungkinan ini bisa terjadi ketika informasi yang diminta menyangkut kerahasiaan pribadi seseorang. Tahap lebih lanjut hanya dilakukan jika informasi yang diminta dikecualikan dengan kualifikasi.
Langkah selanjutnya adalah identifikasi dasar hukum pengecualian informasi dengan kualifikasi. Seringkali ditemukan bahwa satu informasi dikecualikan oleh lebih dari satu alasan pengecualian. Sebagai contoh, seorang pemohon informasi meminta secara tertulis: data kredit UKM yang disalurkan oleh Bank Mandiri mencakup besaran nilai, nama dan alamat penerima di tingkat kelurahan.[3] Setelah diidentifikasi, maka informasi tersebut dikecualikan dengan alasan sebagai berikut:
alasan-1:
Pasal 17 huruf h angka 3 UU KIP: jika informasi diberikan kepada pemohon dapat mengungkap kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang.
alasan-2:
Pasal 17 huruf b UU KIP: jika informasi diberikan kepada pemohon dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat.
Dalam kasus di atas, pengecualian didasarkan atas dua fakta yuridis yakni Pasal 17 huruf h UU KIP (pengecualian absolut) dan huruf b UU KIP (pengecualian dengan kualifikasi berbasis praduga). Dalam kasus tertentu boleh jadi dasar pengecualian juga bersumber dari Undang-Undang lain. Mengapa UU Perbankan (UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah menjadi UU No. 10 Tahun 1998) tidak masuk sebagai dasar pengecualian pada kasus di atas? UU Perbankan mengatur kerahasiaan nasabah, bukan debitur.
Tahap-3: Mengidentifikasi Kepentingan Yang Ingin Dilindungi
Dalam tahapan ini dilakukan identifikasi mengenai kepentingan apa yang ingin dilindungi oleh suatu Undang-Undang yang menjadi dasar pengecualian. Untuk pengecualian yang didasarkan atas ketentuan pengecualian pada Pasal 17 UU KIP, sebagian besar kepentingan yang akan dilindungi cukup jelas. Meskipun demikian perlu dideskripsikan secara lebih konkrit.
Sebagai contoh, pada kasus terdahulu memberikan informasi kredit usaha kecil dan menengah (UKM) di suatu kelurahan dinyatakan untuk menghindari gangguan atas perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat. Bagaimana menjelaskan ini? Bagi PPID Bank Mandiri, hal ini dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut: jika informasi tersebut dibuka dan diketahui oleh pesaing Bank Mandiri, maka debitur dapat didekati dan ditawarkan skema yang lebih menguntungkan. Jika debitur terbujuk dan beralih bank, maka Bank Mandiri akan mengalami kerugian dalam penerimaan. Membuka informasi tersebut akan mengganggu persaingan usaha yang sehat. Bank Mandiri akan kehilangan sejumlah debitur dengan track record baik dan tingkat resiko rendah dalam pengembalian.[4]
Dalam kasus lain, kita bisa melihat bahwa kepentingan yang ingin dilindungi melalui pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain ternyata tak berbeda dengan pengecualian pada UU KIP. Sebagai contoh, ICW meminta informasi informasi terkait 17 nama pemilik rekening anggota Polri beserta besaran nilainya yang telah dikategorikan wajar oleh Mabes Polri setelah pemeriksaan tanggal 23 Juli.[5]
Salah satu alasan penolakan oleh PPID Polri adalah bahwa informasi tersebut dikecualikan berdasarkan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).[6] Tak ada uraian kepentingan apa yang ingin dilindungi oleh UU TPPU. Dalam persidangan, Yenti Garnasih, ahli yang didatangkan oleh Mabes Polri, menerangkan salah satu kepentingan yang akan dilindungi melalui UU TPPU. Menurut Yenti Garnasih: ‘berdasarkan Pasal 10 A UU TPPU pejabat, penyidik, PPATK atau siapapun tidak boleh membuka dokumen yang mencurigakan tujuannya adalah jika nasabah yang bersangkutan mengetahui bahwa rekeningnya dicurigai bisa saja sebelum sempat diperiksa dan diblokir sudah terlebih dahulu memindahkan dana-dana tersebut’.[7]
Pada argumen di atas, kita melihat suatu bentuk pengecualian yang pada dasarnya adalah untuk melindungi kepentingan penyelidikan dan penyidikan. Hal ini juga telah diatur pada Pasal 17 huruf a angka 1 UU KIP. Dengan kata lain tak ada kekhususan dalam hal tujuan pengecualian pada UU TPPU tersebut terhadap UU KIP.
Pengecualian pada UU TPPU juga terkait dengan kerahasian perbankan berdasarkan beberapa pasal pada UU Perbankan.[8] Pengecualian berdasarkan UU Perbankan juga perlu dicermati. Kepentingan apa sesungguhnya yang ingin dilindungi, seperti: kerahasiaan pribadi nasabah, ketahanan ekonomi nasional, persaingan usaha yang sehat, dsb. Besar kemungkinan kepentingan tersebut juga telah diatur pada Pasal 17 UU KIP.
Dalam mengidentifikasi kepentingan yang akan dilindungi seringkali ditemukan bahwa kerahasiaan yang diatur oleh Undang-Undang tertentu merupakan kerahasiaan turunan (derivasi) dari satu atau lebih kerahasiaan mendasar yang telah diatur oleh UU KIP. Persoalannya tidak semua Undang-Undang menjelaskan konsekuensi negatif yang ingin dilindungi oleh pengecualian yang diatur dalam Undang-Undang tersebut. Untuk itu cara terbaik adalah menelusuri risalah pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut (memorie van toelichting) atau naskah akademiknya.
Jika di dalam kedua dokumen tersebut tidak ditemukan maka mendatangkan ahli yang kompeten untuk menjelaskan adalah salah satu jalan keluar yang dapat ditempuh.[9] Identifikasi kepentingan yang ingin dilindungi akan menghasilkan dasar hukum pengecualian yang kokoh dan menentukan kualitas penetapan hasil uji konsekuensi oleh PPID. Pelibatan satuan kerja internal yang membidangi hukum menjadi sangat penting.
Di perusahaan swasta yang telah memiliki regulatory management yang mapan, untuk memutuskan menolak memberikan suatu jenis informasi yang strategis, sensitif dan beresiko bagi perusahaan biasanya dibahas di disclosure committee. Semenjak UU KIP diberlakukan beberapa Badan Publik juga telah membentuk tim pertimbangan yang berfungsi sebagaimana disclosure committee pada perusahaan swasta.[10]
Terakhir, perlu diperhatikan apakah pengecualian masuk kategori pengecualian absolut. Jika informasi tersebut masuk kategori pengecualian absolut maka PPID segera menetapkan hasil pengujian atas konsekuensi tersebut untuk menolak memberikan informasi kecuali diatur lain oleh Undang-Undang. Sebagai contoh, kendati informasi mengenai aset seseorang dikecualikan berdasarkan pasal 17 huruf h angka 3 UU KIP, Komisi Informasi Pusat memutus BPN untuk membuka informasi terkait permohonan informasi atas tanah hanya kepada pemohon karena pihak pemohon terbukti masuk dalam kategori yang memiliki hak untuk mengakses. Pengadilan telah menetapkan pemohon sebagai pewaris yang sah.[11] Pasal 18 ayat (2) UU KIP menyatakan bahwa tidak termasuk informasi dikecualikan sebagaimana diatur pada Pasal 17 huruf g dan h (kerahasiaan pribadi) antara lain bila pihak yang rahasianya diungkap memberikan persetuju-an tertulis; dan/atau pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan-jabatan publik.
Tahap-4: Memeriksa Relevansi Pengecualian
Memeriksa relevansi pengecualian informasi merupakan langkah terakhir untuk menerapkan prinsip ‘saksama dan penuh ketelitian’ dalam pengujian konsekuensi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UU KIP. Kadangkala informasi yang dimohon boleh jadi secara yuridis termasuk informasi yang dikecualikan. Hasil identifikasi terhadap kepentingan yang akan dilindungi oleh suatu Undang-Undang menunjukkan kesimpulan sementara bahwa: ‘patut diduga kepentingan yang akan dilindungi secara oleh Undang-Undang akan terganggu jika informasi diberikan’. Akan tetapi ketika dilakukan pemeriksaan terhadap relevansi, informasi tersebut sudah tidak relevan untuk dikecualikan. Sebagai contoh (Alamsyah Saragih, 2012):[12]
Relevansi kerahasiaan pribadi. Seseorang meminta informasi mengenai 10 debitur UKM terbaik dari suatu Bank BUMN. Hasil identifikasi dalam daftar informasi yang dikecualikan, nama debitur masuk dalam kategori dikecualikan. Tujuan pengecualiannya adalah untuk melindungi data pribadi terkait posisi keuangan seseorang sesuai dengan Pasal 17 huruf h UU KIP, kecuali seizin yang pihak yang rahasianya diungkap sebagaimana dinyatakan dalam pasal 18 ayat (2). Namun demikian pada saat pemohon meminta, Bank BUMN yang bersangkutan baru saja selesai melakukan pengumuman 10 debitur UKM terbaik dan memberikan penghargaan kepada mereka dalam suatu acara terbuka diliput media. Dengan demikian, menolak permohonan berdasarkan tujuan pengecualian tersebut telah kehilangan relevansinya karena informasi telah terpublikasi.
Relevansi Kerahasiaan Sumber Daya Alam. Seorang jurnalis mengajukan permohonan informasi untuk peliputan potensi sumber daya alam lokal suatu Kabupaten. Dalam daftar informasi yang dikecualikan informasi tersebut termasuk informasi yang dikecualikan berdasarkan Pasal 17 huruf d UU KIP, yakni informasi yang dapat mengungkap kekayaan alam Indonesia. Tujuan pengecualian dinyatakan untuk melindungi posisi tawar Indonesia dalam persaingan bisnis pengelolaan sumber daya alam di pasar modal global. Alasan lain keterangan ahli menyatakan bahwa hal tersebut untuk mengurangi peluang intervensi asing yang melemahkan ketahanan ekonomi nasional, kendati masih dapat diperdebatkan. Setelah mencermati daftar sumber daya alam lokal yang diminta, tujuan pengecualian tersebut tidak relevan untuk ditetapkan sebagai dasar penolakan. Informasi yang diminta tidak memiliki nilai strategis sesuai kepentingan yang akan dilindungi berdasarkan Undang-Undang. Bahkan promosi sumber daya alam lokal justru berpeluang mendatangkan investasi untuk penciptaan lapangan kerja lokal.
Tahap-5: Menetapkanan Hasil Uji Konsekuensi
Tahap ini adalah tahap menuangkan hasil pengujian atas konsekuensi menjadi suatu keputusan publik. Instrumen hukum yang digunakan adalah penetapan. Penetapan akan memuat mulai dari dasar pertimbangan hingga keputusan PPID mengenai status informasi tersebut. Dalam keputusan ini boleh jadi tidak semua dasar hukum pengecualian digunakan sebagai argumen untuk menolak memberikan informasi, melainkan hanya dasar hukum yang terbukti relevan sebagai alasan pengecualian.
Menguji Pengecualian Berdasarkan Undang-Undang lain
Pasal 17 huruf j UU KIP mengatur bahwa suatu informasi dapat dikecualikan jika ada Undang-Undang yang melarang pengungkapan. Pasal ini dimaksudkan untuk mengakomodasi ketentuan yang diatur oleh Undang-Undang lain.
Pasal 17 huruf j:
informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-Undang.
Keinginan untuk mengakomodasi pengecualian substansial berdasarkan peraturan perundang-undangan lain pada dasarnya telah ditetapkan pada Pasal 6 ayat (1) UU KIP. Dengan masuknya ketentuan informasi yang tidak boleh diungkap berdasarkan Undang-Undang pada kelompok Pasal 17 UU KIP (secara khusus mengatur pengecualian berdasarkan konsekuensi), maka pengecualian tersebut harus tetap disertai penjelasan mengenai konsekuensi yang ditimbulkan apabila informasi dibuka dan diberikan kepada Pemohon.
Dalam pembahasan RUU antara Pemerintah dan DPR, terjadi beberapa kali perdebatan atas keinginan DPR menjadikan UU KIP sebagai Undang-Undang payung (umbrella act). Hal tersebut diperkuat dengan keinginan DPR untuk menetapkan bahwa pengecualian hanya berdasarkan UU KIP. Namun demikian keinginan untuk menyusun suatu Undang-undang payung tak dimungkinkan di Indonesia. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) tak menge-nal jenis Undang-Undang tersebut.
Dalam pembahasan bersama DPR pihak Pemerintah berpendapat bahwa menetapkan klausul pengecualian hanya berdasarkan UU KIP akan berimplikasi luas terhadap harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lain. Ketentuan tersebut akan menyampingkan keberadaan peraturan perundang-undangan lain yang mungkin telah mengatur secara khusus pengecualian atau kerahasiaan. Pemerintah mengusulkan agar tetap mengakomodasi pengecualian berdasarkan peraturan perundang-undangan lain dan sinkronisasi dilakukan dengan menggunakan kaidah umum yang berlaku (general principle of law). Usul ini diterima oleh DPR:
Prof. Ahmad Ramli (wakil Pemerintah): ‘… kemungkinan untuk inharmonize, satu tidak harmonis dengan yang lain, atau tidak sinkron satu sama lain itu sangat mungkin dalam perundang-undangan. Oleh karena itu, jika ada perbedaan semacam ini maka kita harus menggunakan asas-asas perundang-undangan… Oleh karena itu kita selalu mengatakan di sini yang berlaku tidak boleh hanya menyebut Undang-Undang ini, tapi peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena khawatir ada yang jauh lebih spesifik.’[13]
Dalam praktik, bukan hal yang mudah untuk menerapkan harmonisasi berdasarkan asas tersebut. Para ahli hukum biasanya akan memiliki cara pandang masing-masing untuk menentukan mana yang lebih khusus antara satu Undang-undang terhadap yang lainnya. Diperlukan kecermatan dalam menerapkan apa yang selama ini dikenal dengan kaidah ‘yang khusus mengesampingkan yang umum’ (lex specialis derogate legi generalis), sebelum menyatakan bahwa Undang-Undang lain bersifat lebih khusus terhadap UU KIP.
Bagaimana menerapkan asas ini dalam pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain? Pertama, pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain harus dilihat sebagai upaya untuk melindungi kepentingan tertentu yang secara khusus ingin dilindungi oleh pengecualian dalam Undang-Undang tersebut (kekhususan dalam tujuan). Kedua, asas pengecualian oleh Undang-Undang tersebut tetap mengacu pada UU KIP sepanjang Undang-Undang tersebut tidak mengatur asas pengecualian tersendiri (kekhususan dalam asas). Ketiga, prosedur untuk membuka dan mengakses informasi yang dikecualikan oleh Undang-Undang lain tetap mengikuti UU KIP, sepanjang tidak diatur secara lebih khusus oleh Undang-Undang tersebut (kekhususan dalam prosedur).
Jika beberapa hal di atas tidak terpenuhi, biasanya terjadi overlap antara UU KIP dan Undang-Undang yang bersangkutan namun tidak ada kekhususan. Dalam praktik, biasanya pengecualian oleh Undang-Undang lain tersebut memiliki tujuan untuk melindungi kepentingan sebagaimana yang juga telah diatur di UU KIP. Tidak jarang bahkan pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain ternyata merupakan turunan dari satu atau lebih kerahasiaan mendasar yang telah diatur di UU KIP.
Pada masa lalu, langkah legal untuk harmonisasi dapat mengacu pada salah satu sumber hukum yang berlaku, yakni UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan:
Pasal 44 ayat (2) :
Ketentuan mengenai teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Lampiran C.1 angka 74, huruf c:
Hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal (-pasal) berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan.
Berdasarkan ketentuan di atas, keputusan untuk memasukkan pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain pada pasal-pasal berikutnya setelah pasal 2 yang mengatur tentang asas dalam UU KIP, akan berimplikasi pada berlakunya asas pengecualian yang ada pada Pasal 2 UU KIP (uji konsekuensi dan uji kepentingan publik) terhadap pengecualian yang diatur oleh Undang-Undang yang lebih khusus, sepanjang Undang-Undang tersebut tidak menganut asas pengecualian dan prosedur akses tersendiri.
Ketentuan Penutup UU KIP memperkuat hal ini:
Pasal 63:
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perolehan informasi yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
Dari berbagai ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa sejak UU KIP berlaku, pengecualian atas dasar Undang-Undang lain tetap harus disertai dengan pembuktian atas konsekuensi yang timbul dan pertimbangan atas kepentingan publik yang lebih luas.
Namun demikian sejak diberlakukannya UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No. 10 Tahun 2004 dinyatakan tidak berlaku. Pengaturan tentang sistematika pada UU No. 12 Tahun 2011 tidak menganut ketentuan sebagaimana pada UU terdahulu.
Upaya harmonisasi antar peraturan perundang-undangan akan kembali bersandar kepada prinsipprinsip umum yang lebih bersifat teoritik atau doktrinal ketimbang ketentuan legal. Harmonisasi diperkirakan akan sangat tergantung pada keyakinan yang dilandaskan pada teori dan doktrin.
Catatan Penutup
Pengujian konsekuensi dalam praktik pengecualian informasi sejak UU KIP diberlakukan akan berdampak kepada beberapa hal berikut: pertama, UU KIP telah mengakomodir pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain. Oleh karena itu, secara sistematik, pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain terikat pada asas pengecualian yang diatur pada Pasal 2 ayat (4) UU KIP sepanjang Undang-Undang yang bersangkutan tidak memiliki asas pengecualian tersendiri. Pada ketentuan ini konsekuensi dan kepentingan publik merupakan pertimbangan dasar untuk pengecualian suatu informasi berdasarkan Undang-Undang, baik UU KIP maupun Undang-Undang lain.
Kedua, tidak ada pengecualian tanpa identifikasi kepentingan yang akan dilindungi (konsekuensi negatif) kendati pengecualian tersebut diatur oleh Undang-Undang selain UU KIP. Hal ini akan menjadikan posisi risalah pembahasan (memorie van toelichting) dan naskah akademik sebagai dokumen pendukung kebijakan menjadi vital dalam menyusun pertimbangan hukum pengecualian. Penelusuran diperlukan terutama ketika suatu Undang-Undang tidak secara eksplisit menjelaskan tujuan kerahasiaan suatu informasi.
Ketiga, penerapan kedua hal di atas akan mencegah kontradiksi ketika terjadi upaya-upaya pengaturan kerahasiaan melalui regulasi di luar UU KIP. Kerangka pengujian atas konsekuensi secara yuridis akan mengarahkan setiap pengecualian substansial kepada tiga kerahasiaan mendasar sebagaimana diatur pada pasal 6 ayat (3) dan pasal 17 UU KIP.
Hal ini akan mempermudah mainstreaming keterbukaan informasi publik di berbagai sektor. Diperkirakan tidak cukup mudah untuk menerapkan model konsekuensi negatif di tengah cara pandang pengambil keputusan publik yang cenderung kaku dan tekstual dalam memaknai suatu regulasi dan telah terbiasa dengan pola kerahasiaan sebelum UU KIP diberlakukan.
———-
[1] Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia Online (http://kbbi.web.id/), diakses pada 10 Desember 2012.
[2] Penetapan No. 01/V/2012. Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Komisi Informasi Pusat, tanggal 21 Mei 2012.
[3] Lihat perkara No: 243/VI/KIP/PS-A/2011 antara Muhammad Hidayat S v Bank Mandiri yang ditangani oleh Komisi Informasi Pusat RI.
[4] Lihat Penjelasan Termohon pada sidang Ajudikasi sengketa No. 243/ VI/KIP/PS-A/2011 antara Muhammad Hidayat S v Bank Mandiri pada tanggal 3 Oktober 2011.
[5] Putusan Komisi Informasi Pusat RI No. 002/X/KIP-PS-A/2010 antara ICW v Mabes Polri, Jakarta 8 Februari 2011.
[6] Pasal 10 A UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 25 Tahun 2003 Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) yang menyatakan bahwa Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang memperoleh dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini wajib merahasiakan dokumen dan/atau keterangan tersebut kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.
[7] Lihat keterangan Yenti Garnasih dalam persidangan pada tanggal 18 Januari 2011. Sumber: Salinan Putusan Komisi Informasi Pusat RI No. 002/X/KIP-PS-A/2010. ICW v Mabes Polri. Jakarta 8 Februari 2011.
[8] Dalam UU Perbankan (pasal 40, 41, 41A, 42, 43, dan 44A) diatur ketentuan yang mewajibkan Bank untuk merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya. Namun demikian untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank. Ketentuan kerahasiaan tersebut berlaku pula bagi Pihak Terafiliasi.
[9] Saragih, Alamsyah. Pengecualian Informasi Pada Badan Publik Negara. Jakarta: Komisi Informasi Pusat RI. 2012, hal. 35.
[10] Antara lain dapat dilihat pada SOP PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Persero) yang mengatur pengelolaan informasi yang dapat diakses dengan izin PT Telkom.
[11] Putusan Komisi Informasi Pusat RI No. 175/V/KIP-PS-A/2012. Widarti v Kanwil BPN DIY. 12 September 2012.
[12] Saragih Alamsyah. Op. cit., hal. 66.
[13] DPR-RI, Komisi I. Risalah Rapat Kerja Pembahasan RUU KMIP. 26 Juni 2007.